Sejarah Desa Olung Nango


Olung Nango adalah nama sebuah desa yang lokasinya berdekatan dengan Kota Puruk Cahu, Ibukota Kabupaten Murung Raya. Desa Olung Nango juga dikenal dengan sebutan Desa Soko, karena di desa tersebut mengalir sungai Soko yang jernih airnya. Jarak antara Desa Olung Nango dan Kota Puruk Cahu sekitar 5 KM melewati Jalan Tanah Siang Lama (Jl. Tmg. Batang), dimana jalan tersebut dibangun oleh masyarakat setempat pada saat penjajahan kolonial Belanda dengan sistem kerja Paksa atau Rodi. Jalan tersebut juga adalah jalan yang menghubungkan Desa Olung Nango menuju Kelurahan Saripoi Kecamatan Tanah Siang dengan jarak sekitar 9 KM.
Jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, Desa Olung Nango sudah ada dan saat itu bermula dari sebuah perkampungan yang bernama Soko, yakni sebuah kampung atau pemukiman tempat ladang berpindah-pindah dari suku-suku Dayak jaman dahulu yang berada di sekitar Sungai Soko seperti Suku Dayak Siang, Murung dan suku-suku Dayak lainnya yang bergabung membentuk sebuah perkampungan untuk tempat pertahanan karena pada waktu dulu antar satu suku dengan suku Dayak lainnya sering berperang dan mengayau yang disebut jaman Kayau Asang. Sedangkan etimologi Kata “Soko” berasal dari nama sejenis tumbuhan rotan yang disebut suku Dayak Siang dengan nama “Uwoi Soko” atau “Rotan Soko” yang pada waktu itu banyak tumbuh disekitar pinggiran salah satu sungai anak sungai Murung (Barito), sehingga nama sungai tersebut sampai sekarang disebut sungai Soko dan juga menjadi nama perkampungan penduduk Suku Dayak Siang dan beberapa suku Dayak lainnya yang bergabung membentuk perkampungan waktu itu. Sedangkan menurut salah satu tokoh tetua Desa Olung Nango, sebenarnya kata “Soko” berasal dari kata “Suku” yang berasal dari kata “Kumpulan Suku-suku”, karena zaman dulu perkampungan Soko dibentuk oleh berbagai suku-suku Dayak.
Konon, pada masa itu hidup tiga bersaudara yang hidup sebatangkara, dua lelaki dan satu perempuan. Mereka bertiga menggantungkan hidup dengan bertani lading dan berkebun. Salah satu dari mereka yakni saudara mereka yang lelaki terkenal tangkas dan gagah perkasa yang dalam bahasa Siang disebut “Mamut Mentong” yang mampu melawan musuh yang banyak dalam pertarungan. Demi menjaga keamanan kampung mereka, diangkatlah pemimpin kampung mulai saat itu. Mereka juga dapat membangun Betang sehingga terbentuk kampung Soko yang pertama. Setelah itu, berturut-turut Kampung Soko dipimpin seorang Tomanggung, dan yang paling terkenal hingga kini salah satu Tomanggung bernama Tomanggung Batang yang kini makamnya masih ada di tempat pemakaman desa Olung Nango sampai sekarang. Terdapat pula Betang yang dibangun masyarakat pada waktu itu yakni “Betang Kuta Pakat Entang” yang kini karena termakan usia dan waktu hanya sedikit tersisa jejaknya.
Kampung Soko lambat laun mengalami perkembangan dan penduduknya semakin banyak, apalagi pada saat itu sudah terdapat jalan yang dibuat pada zaman penjajahan Belanda. Akhirnya nama kampung Soko diubah menjadi Desa Tumbang Nango, hal ini dikarenakan ada sebuah  Sungai kecil anak Sungai Soko yang berhadapan dengan desa itu, walaupun nama Soko juga masih dipakai hingga sekarang sebagai nama lain desa ini. Setelah zaman kemerdekaan yakni sekitar tahun 1948, tiga tahun sesudah proklamasi dan saat itu propinsi Kalimantan Tengah dipimpin oleh Tjilik Riwut sebagai gubernur (1949) dengan semboyannya Kalteng Membangun, dimana saat itu salah satu kebijakan atau arahan supaya nama kampong atau desa mengikuti bahasa Dayak di daerahnya masing-masing. Maka oleh sebab itu, nama desa yang semula Tumbang Nango menjadi Olung Nango, karena bahasa Dayak Siang dari Tumbang (Muara) adalah “Olung”. Kini nama desa Olung Nango sudah resmi sampai sekarang, walaupun nama Sekolah Dasarnya masih memakai nama SDN Tumbang Nango, pun juga pada cap stempel yang berbeda antara desa dan sekolah dalam mengenai nama desa, hal ini dikarenakan kemungkinan besar pada saat itu tidak sempat disampaikan dengan cap stempel perubahan.
Etimologi atau asal mula kata “Olung Nango” adalah dari kata “Olung” yang berarti “Muara” atau dalam bahasa Dayak Ngaju “Tumbang” dan “Nango” nama sebuah Sungai di Desa tersebut. Penamaan tempat atau daerah bagi Suku Dayak di Kalimantan pada umumnya sudah biasa dengan nama sungai, sebagai contoh, Kapuas, Kahayan, Barito, dll. Begitupun halnya perkampungan atau desa yang biasa mengambil nama sungai dan ditambah kata “Muara’, “Tumbang”, atau “Olung” disesuaikan dengan bahasa setempat, contoh: Muara Laung, Tumbang Bana, Olung Balo. Begitupun halnya dengan penamaan desa Olung Nango yang mengambil nama sungai “Nango” dan menambah kata “Olung” di depannya sehingga menjadi “Olung Nango”. Sedangkan menurut sejarah tetua desa, kata “Nango” berasal dari nama sejenis tumbuhan yang umbutnya bisa dimakan yang dalam bahasa Siang disebut “Tiwak Nango” yang banyak tumbuh disepanjang tepian sungai Nango tersebut.
Sejak dulu Desa Olung Nango atau Desa Soko memiliki wilayah yang sangat luas yang terbentang mulai dari perbatasan dengan Desa Panahan (Puruk Batu) di sebelah utara tepatnya di Kalang Oteng KM 9 hingga perbatasan dengan Kota Puruk Cahu di sungai Hungan Kecil, Kel. Beriwit di selatan dan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Dirung Bakung di sungai Kaputok dan dengan Desa Tino Talih di Batu Nyapou.
Akan tetapi, dengan adanya pembentukan desa pemekaran pada tahun 2008 yakni Desa Olung Siron yang dimekarkan dari Desa Karali II, wilayah Desa Olung Nango mengalami pengurangan dan hingga kini batas-batas secara resmi belum ditetapkan antara kedua desa.
Setelah kepemimpinan seorang Temanggung/Tomanggung, Desa Olung Nango dipimpin berturut-turut oleh seorang kepala kampung hingga kepala desa seperti dibawah ini:
Bajo (Kepala Kampung), Bua Ohing (Kepala Kampung) , Naun (Kepala Kampung), Ugang (Kepala Kampung), Dehen K (Kepala Kampung)., Lapu Janggut (Kepala Desa), Iri S. (Kepala Desa, 1982-1990), Uneh K. (Kepala Desa, 1990-1995) , Dehen K. (Kepala Desa, 1995-1997), Bambang U. (Kepala Desa, 1997-2000), Supandi (Kepala Desa, 2000-2008), Sanderson (Kepala Desa, 2008-2014), Kornelius Kamboy (Kepala Desa, 2014-sekarang).

Komentar